Sunday, September 30, 2012

Rencana Relokasi Pasar Jepon

Rencana Lokasi Pasar Yang Baru di Desa  Kemloko
Para pedagang pasar jepon saat ini sedang resah, pasalnya rencana relokasi pasar jepon akan segera dilaksanakan. Pemilihan lokasi baru untuk mendirikan pasar yang baru telah ditentukan sebagai pengganti pasar lama, yang dinilai sudah tidak representatif lagi mengingat jumlah pedagangnya yang semakin banyak.

Lokasi baru untuk Relokasi pasar berada di desa kemloko, kurang-lebih 1,5 km kearah utara dari pasar lama. Letak lokasi pasar yang baru memang cukup strategis karena berada tidak jauh dari perempatan jalan desa, artinya dapat dijangkau dari berbagai arah. Namun sayangnya, letaknya agak jauh dari jangkauan alat transportasi umum. Berbeda dengan lokasi pasar jepon saat ini yang berada di jalur transportasi umum dari arah blora ke cepu atau sebaliknya.

Menurut informasi,rencana relokasi pasar jepon dikarenakan adanya rencana tata kota blora secara keseluruhan. Setelah pasar jepon direlokasi, maka pasar jepon yang lama akan dijadikan sebagai Alun- Alun Jepon ( menurut isu-isu yang berkembang saat ini ). Informasi lain, relokasi pasar dilakukan karena banyaknya pedagang yang berjualan dipinggir jalan, dan ini dianggap mengganggu ketertiban lalulintas.

Apapun alasan untuk rencana relokasi pasar jepon, seharusnya sudah melalui studi kelayakan relokasi pasar jepon. Karena hal ini menyangkut kepentingan banyak pihak, terlebih lagi untuk para pedagang yang akan berpindah tempat untuk berjualan, karena merekalah yang akan merasakan efek psikologis dan jangan sampai merasa dirugikan. Kita lihat saja nanti setelah para pedagang ini direlokasi ke lokasi pasar yang baru.

Thursday, September 27, 2012

Krisis air yang biasa terjadi

Krisis air yang biasa terjadi setiap tahunnya di blora, kondisi kekeringan ini akan terus terjadi setiap musim kemarau tiba. Bukan rahasia lagi jika kekeringan ini akan terus berlanjut tanpa ada antisipasi dan solusi untuk  mengatasi keadaan ini. Bantuan air bersih dengan mengirimkan truk-truk tanki hanyalah solusi yang bersifat sementara.

Beberapa bendungan dan embung yang dibuat untuk mengatasi kondisi kekeringan ini tidak dapat berfungsi secara maksimal. Debit air yang tertampung tidak mampu mencukupi kebutuhan karena musim kemarau yang panjang. Saat ini kondisi bendungan- bendungan telah kering tanpa ada sisa air yang dapat digunakan oleh warga.

Secara swadaya masyarakat blora membuat sumur-sumur dirumah masing-masing, hanya dengan cara memanfaatkan air tanah secara maksimal, kebutuhan air bersih pada musim kemarau dapat teratasi. Namun, ternyata cara ini tidak dapat dilakukan disemua wilayah, pada wilayah yang mengalami kekeringan cukup parah, biasanya dikarenakan pemanfaatan air tanah tidak dapat dilakukan. Hanya dengan mengandalkan pasokan air bersih dari truk-truk tanki air yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan bantuan air dari organisasi massa, kebutuhan air bersih dapat tercukupi.

Krisis air yang biasa terjadi setiap tahunnya ini seakan telah menjadi sebuah kebiasaan dan tanpa solusi yang memuaskan.( Bloralicious )

Kabupaten Blora, Dahulu dan Sekarang

BLORA ERA KERAJAAN

Blora dibawah Kadipaten Jipang

Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi : Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir ( Hadiwijaya ) mewarisi tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.

Blora dibawah Kerajaan Mataram.

Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mataram bagian Timur atau daerah Bang Wetan. Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = � hektar ). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.

Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755)

Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja di Yogyakarta. Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.

Blora dibawah Kasultanan Surakarta.

Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya.

BLORA KABUPATEN.

Blora sebagai Kabupaten.

Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan hutan jatinya. Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA.Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.

Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan.

Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu. Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah ( petani ) . Di daerah-daerah lain di Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh SAMIN SURASENTIKO.

Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. Beberapa indikator penyebab adana pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain : Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora Perubahan pola pemakaian tanah komunal pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas yang makmur.

Blora Pada Masa Sekarang.
Pada saat ini, kabupaten blora sedang menata diri untuk menjadi kota yang nyaman, sebagai sebuah kota yang mengalami perkembangan ekonomi yang cukup pesat, maka dibutuhkan infrastruktur yang memadai. Kondisi perekonomian yang stabil menjadikan blora sebagai kawasan sangat menarik untuk berinvestasi, terbukti dengan semakin banyaknya mini market yang ada dan akan menyusul dibangunnya beberapa mall dan direlokasinya beberapa pasar tradisional untuk dirubah menjadi pasar yang dikelola secara modern. ( Bloralicious )